Memo ini mengulas awal mula dirancangnya sebuah program penelitian yang sampai akhirnya disetujui pada Februari 2017. Memo ini tidak menjabarkan latar belakang politik dan sosial program penelitian tersebut. Informasi lebih jauh tentang program penelitian ini dapat dibaca pada situs web program penelitian ini.

Memo ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan bagaimana naskah awal program penelitian dikembangkan, dan siapa saja yang terlibat dalam perancangan riset dan penyusunan pertanyaan-pertanyaan penelitian, sampai akhirnya disetujui pada awal tahun 2017. Selanjutnya, memo ini memaparkan ihwal awal pengajuan proposal sejak 2012 sampai kepada proposal akhir yang disetujui melalui kesepakatan Kabinet Pemerintah Belanda pada tanggal 23 Februari 2017, dan hibah sejumlah 4.1 juta euro kepada tiga lembaga penelitian Belanda, yakni NIOD, KITLV, dan NIMH untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian tersebut.

1. Surat dari Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat Belanda, tertanggal 2 Desember 2016

Uraian ini dimulai dengan ulasan tentang keputusan Pemerintah Belanda yang mengabulkan hibah guna mendukung penyelenggaraan riset ihwal periode bersejarah ini, sebagaimana tercantum dalam surat yang dialamat ke Dewan Perwakilan Rakyat Belanda tertanggal 2 Desember 2016 berikut.

Pemerintah menyadari bahwa penelitian lebih lanjut ihwal periode ini bisa saja melukai perasaan para veteran perang Hindia Belanda. Akan tetapi, Pemerintah juga menganggap penting diselidikinya ihwal keadaan genting nan rumit yang dihadapi para tentara Belanda saat berperang, kekerasan yang dilakukan oleh pihak Indonesia, aksi-aksi militer yang tidak melibatkan kekerasan, dan tanggung jawab dari para pemimpin politik, administratif dan militer Belanda. Selain itu, penting juga bahwa penyelidikan ini turut membahas ihwal penderitaan yang dialami oleh para korban (serta kerabat-kerabatnya) selama periode Bersiap, yakni sebuah periode yang ditandai oleh kekosongan kekuasaan, dan berjatuhannya korban dari berbagai kelompok masyarakat yang tidak pernah hadir dan disinggung dalam banyak penelitian dan publikasi mengenai periode tersebut.”

Selanjutnya, pemerintah menyatakan:

“Setelah menimbang dengan matang, berbeda dari pandangan sebelumnya, pemerintah akhirnya menyimpulkan bahwa telah diperoleh cukup alasan untuk melaksanakan penyelidikan yang lebih menyeluruh mengenai latar penggunaan kekerasan selama masa dekolonisasi.

Penyelidikan tersebut tidak hanya akan dibatasi kepada aksi kekerasan yang dilakukan oleh seluruh pihak, sesuatu yang selama ini sudah banyak dikaji secara perorangan, melainkan harus pula membahas dengan tegas latar yang lebih luas pasca-perang dekolonisasi, yang mencakup tindakan-tindakan militer, hukum, administratif, politik dan kemasyarakatan di Hindia Belanda selama kurun 1945-1949, baik dari perspektif pemerintah pusat di Den Haag maupun perspektif lokal.

Dan yang lebih penting lagi, kajian lanjutannya haruslah menggunakan pendekatan menyeluruh dan menggali isu-isu yang disinggung oleh Dr Limpach secara lebih mendalam. Lilitan kekerasan yang terjadi selama periode yang dikenal dengan periode ‘Bersiap’ harus juga dibahas pada penelitian ini. Begitu pula dengan pengambilan keputusan politik di Den Haag yang berkenaan dengan dekolonisasi, dukungan luas di Belanda untuk mempertahankan hubungan dengan wilayah Hindia Belanda, pengiriman pasukan, dan tindakan-tindakan serdadu Belanda, keterbatasan informasi, serta dampak yang ditimbulkan pasca-1949 dan penanganan para veteran. Kesemua itu perlu diselidiki lebih jauh."

Bagian pada pernyataan di atas yang bertalian dengan periode Bersiap memiliki peran penting mengingat beberapa politisi dengan serta merta mengklaim bahwa atas upaya merekalah tema tersebut dimasukkan ke dalam program penelitian ini.[1]

Klaim tersebut terdengar masuk akal—setidaknya saat orang mengira bahwa ketiga lembaga penelitian yang menggawangi program ini hanya mulai bekerja sejak dikeluarkannya keputusan pemerintah tanggal 2 Desember 2016 saja. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Pada musim panas 2016, beberapa bulan sebelum diterbitkannya buku Remy Limpach yang telah memicu diambilnya keputusan pemerintah tersebut, sebuah proposal penelitian sudah disusun dengan lengkap. Proposal tersebut memuat semua butir pada proposal final yang diterima oleh pemerintah pada tanggal 23 Februari 2017.

2. Proposal penelitian pertama tahun 2012

Penyusunan proposal pada musim panas 2016 sejatinya sudah dimulai sejak lama, dan mundur sampai ke tahun 2012. Pada tahun itu, sudah dirancang sebuah proposal kegiatan yang mirip dengan proposal terakhir yang disetujui di awal tahun 2017 tersebut.

September 2012

Proposal penelitian tentang ‘Kekerasan Militer Belanda di Indonesia, 1945-1950’ oleh KITLV, NIMH, NIOD

Penelitian ini dibagi menjadi empat bagian:

  • (45%) Penyelidikan empiris tentang penggunaan kekerasan oleh serdadu Belanda di tahun-tahun antara 1945-1950, yang dibingkai dalam konteks yang lebih luas ihwal Revolusi Indonesia sejak proklamasi, periode Bersiap, sampai kepada penyerahan kedaulatan serta pembubaran KNIL. Berdasarkan penelusuran sumber-sumber sejarah, program penelitian ini tidak hanya akan menyajikan rekonstruksi tindakan-tindakan militer dan ekses-ekses yang diakibatkannya, tapi juga akan menjabarkan ihwal pelatihan, komando, dan organisasi pasukan Belanda, juga perihal sifat kekerasan yang mencakup bentuk dan frekuensinya, serta mengkaji pemilahan tanggung jawab (mulai dari pihak yang memberikan perintah sampai ke pelaksana, baik sipil dan militer, di Batavia dan juga di Den Haag).
  • (20%) Berkaitan langsung dengan bagian pertama, penelitian akan membahas tentang apakah kekerasan segera ditindaklanjuti baik oleh pihak militer, aparat hukum atau pejabat pemerintah, dan bagaimana. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh fakta yang jelas dan interpretasi atas peristiwa-peristiwa sejarah tersebut, sehingga bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saling berkaitan.
  • (15%) Bagian yang lebih kecil, namun dari sudut pandang akademik sangatlah menarik, penelitian ini juga akan fokus untuk memberikan penjelasan tentang kekerasan pada dua sisi, yakni pada level mikro yang didasarkan sebagiannya kepada ilmu tentang perilaku, dan pada konteks yang lebih luas tentang penggunaan kekerasan pada periode pasca perang dekolonisasi di Asia.
  • (20%) Bagian keempat berkenaan dengan resepsi publik atas aksi militer Belanda pada tahun-tahun 1945-1950, baik di Belanda maupun di Indonesia. Bagian ini mencakup wilayah yang cukup luas dari media, debat publik, desas-desus, dan penelitian-penelitian akademik. Di Belanda, kajian akan dipusatkan kepada peran media, kelompok-kelompok terkait dan parlemen Belanda, serta respon-respon dari pemerintah. Tentunya, perhatian juga akan diberikan kepada kemungkinan terjadinya perbedaan pandangan dari sisi akademik dan persepsi umum. Hal yang sama akan juga diterapkan di Indonesia melalui kerja sama dengan para peneliti Indonesia yang dalam beberapa waktu terakhir ini tengah berencana untuk mengkaji kembali historiografi Revolusi Indonesia.

Akan tetapi, proposal yang disusun pada tahun 2012 tersebut tidak memperoleh dukungan dana dari pemerintah. Meskipun memperoleh sokongan dari Menteri Luar Negeri Belanda, Timmermans, dukungan pemerintah tetap tidak genap. Kurangnya dukungan tersebut juga diakibatkan oleh kegamangan atas pendirian Indonesia dan/atau kekhawatiran akan timbulnya respon negatif dari Indonesia. Ketiga lembaga tersebut harus menerima kenyataan tidak diperolehnya dukungan pemerintah, akan tetapi masing-masing lembaga tetap bertekad melanjutkan penelitian tentang peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun-tahun 1945-1950. Tekad tersebut juga didorong oleh terus bermunculannya buku-buku sejarah baru mengenai periode tersebut. Lebih jauh lagi, dimenangkannya gugatan hukum yang dilayangkan oleh para korban perang yang didukung oleh Jeffry Pondaag, ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan pengacaranya, Liesbeth Zegveld, menjadikan perbincangan tentang periode tersebut tetap ramai. Inisiatif pelaksanaan penelitian pun tetap hidup.

3. Penerbitan Buku Brandende Kampongs [Pembakaran Kampung] dan dibuatnya proposal penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950 (ODGOI)

Pada paruh pertama tahun 2016, mulai terlihat geliat baru. Penyebab langsungnya adalah diterbitkannya disertasi doktoral Remy Limpach, yang dibimbing oleh Peter Romijn, seorang profesor di Universitas Amsterdam yang juga direktur NIOD. Limpach mempertahankan disertasinya tersebut di Universitas Bern. Akan tetapi, bahkan sebelum disertasi itu terbit, gagasan pentingnya sudah tersebar, berseliweran dan menarik perhatian.[1] Pada tanggal 25 Januari 2016, temuan Limpach didiskusikan oleh panitia tetap untuk dari kementerian Luar Negeri dan kementerian Pertahanan. Panitia tetap tersebut menyatakan ketertarikannya untuk menindaklanjuti temuan Limpach melalui berbagai kegiatan, salah satunya adalah lewat diskusi meja bundar. Sjoerdsma dari partai D66 and Van Bommel dari partai SP memainkan peranan penting dalam hal pembahasan ini.

NIOD, NIMH dan KITLV memutuskan untuk kembali menggarap apa yang telah mereka mulai di tahun 2012. Pada sebuah pertemuan di Leiden, Professor Petra Groen menyatakan bahwa riset Limpach, yang kini bekerja untuk NIMH, telah berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan pada proposal yang ditulis tahun 2012, dan oleh sebab bagian tersebut sebaiknya tidak lagi dimuat pada proposal.

Media pun memiliki ketertarikan yang sama. Mereka senantiasa menunggu, termasuk the NRC Handelsblad (24 Maret 2016), yang menulis laporan dengan merujuk kepada proposal yang telah dibuat pada tahun 2012. Oleh NIOD, NIMH, dan KITLV, hal ini dipandang sebagai sebuah pertanda agar mereka mulai menyusun proposal versi terbaru. Hasilnya adalah sebuah memo yang mencantumkan catatan-catatan berkenaan dengan arah penelitian. Dokumen tersebut, yang semula adalah catatan-catatan perbaikan untuk proposal tahun 2012, menyajikan sebuah landasan bagi penyusunan proposal akhir yang lalu disetujui pemerintah pada Februari 2017—proposal final yang mencakup butir-butir kajian atas konteks politik dan yudisial, riset komparatif internasional, dan periode Bersiap.

Penelitian Aksi Militer Belanda di Indonesia, 1945-1950, KITLV-NIMH-NIOD draf 8/6/16

“Oleh sebab itu, penelitian baru yang lebih terpumpun menjadi teramat menarik dan mungkin untuk dilaksanakan. Dari perspektif ini, KITLV, NIMH, dan NIOD menyepakati agenda bersama untuk melakukan penelitian lebih lanjut perihal:

  • Peran peradilan militer berkenaan dengan kekerasan yang berlebihan, khususnya dalam kaitannya dengan penyelidikan tindakan-tindakan yang sudah dapat digolongkan sebagai kejahatan perang pada waktu itu. Fokus pada struktur kelembagaan dan personel badan peradilan militer Angkatan Darat Belanda (KL), Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), dan Angkatan Laut Belanda (KM), serta keterpautan antara badan peradilan tersebut dengan kepemimpinan militer. Fokus pada kerangka peradilan dan praktik pencegahan dan hukuman atas ekses-ekses, serta sebaliknya, yakni pada ketiadaan atau disfungsi kesemua hal tersebut (apakah ada kesengajaan dalam tidak diberikannya hukuman, atau pembatasan, atau bahkan pembiaran). Fokus pada perlakukan terhadap para tersangka, tahanan, dan interniran.
  • Perang informasi sebagai bagian dari peperangan kontrainsurgensi: fungsi dan disfungsi dinas-dinas intelijen dan keamanan, serta kepolisian (termasuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh dinas-dinas tersebut). Fokus pada perlakuan tersangka, tawanan perang, dan interniran.
  • Kekerasan mekanis: penggunaan alat-alat perang modern seperti artileri, artileri angkatan laut, dan kekuatan udara yang berisiko menimbulkan korban sipil dalam jumlah yang sangat tinggi, juga dalam kaitannya dengan kerangka-kerangka hukum yang ada.
  • Dampak dinamika perang (termasuk peralihan dari masa-masa pertempuran sengit dan masa-masa negosiasi atau gencatan senjata) pada motivasi hidup dan tingkat kewarasan, serta sikap terhadap kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh para prajurit.
  • Budaya militer dan kekerasan berlebihan: dampak dari warisan KNIL dan pendudukan Jerman dan Jepang pada mentalitas semua prajurit.
  • Periode ‘Bersiap’: kajian atas periode ini tidak hanya penting guna memetakan kekerasan yang menimpa warga negara Belanda dan kelompok masyarakat yang dituduh memberikan dukungan kepada, di antaranya, otoritas Belanda, tetapi juga sebagai pendorong atas terjadinya peperangan lanjutan yang berkepanjangan. Fokus pada penyebab dan pemicu terjadinya kekerasan pada masa Bersiap, serta pada konsekuensi psikologis para serdadu Belanda dan penduduk sipil.
  • Tanggung jawab politik dalam penyediaan informasi tentang perang, khususnya berkenaan dengan kekerasan berlebihan selama perang berlangsung dan pada dekade pertama setelah perang usai: siapa yang mengetahui apa, dan kapan? Dalam hal apa saja dan kapan kita harus menutup-nutupi ihwal kekerasan tersebut? Apakah ini juga akhirnya berdampak pada tata kelola pengarsipan, informasi, dan propaganda? Pertimbangan politik apa saja yang berperan dalam hal ini? (Reputasi tentara dan politik, kebijakan terkait para vetaran, dan kekhawatiran akan konsekuensi hukum).
  • Peran dan signifikansi sosial dari otoritas moral di Belanda dan Indonesia, khususnya gereja, lembaga-lembaga kemasyarakan kala perang, dan tempat perawatan kesehatan mental (biasanya badan-badan keagamaan)
  • Sifat khusus dan konteks lebih luas perang-perang kemerdekaan dan pertempuran kontrainsurgensi. Perbandingan dengan tindakan-tindakan militer Perancis dan Inggris selama perang dekolonisasi.”

Selama musim panas 2016, perbincangan dilakukan dengan berbagai pejabat kementerian. NIOD bertanggung jawab untuk membuka diskusi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan (OCW), dan Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga (WWS); sementara NIMH mengadakan audiensi dengan Kementerian Pertahanan; dan KITLV berdiskusi dengan Kementerian Luar Negeri (BZ). Dalam perbincangan-perbincangan tersebut, sambil menantikan diterbitkannya terjemahan buku Remy Limpach, terlihat dengan jelas bahwa Menteri Luar Negeri Belanda, Koenders, sesungguhnya ingin menuntaskan apa yang tidak mungkin terlaksana di tahun 2012. Perbincangan-perbincangan tersebut menandakan bahwa kepentingan politik sedang didorong oleh pemilu mendatang di awal 2017. Pada tanggal 17 Agustus 2016, Menteri Luar Negeri meminta ketiga lembaga penelitian tersebut untuk mengirimkan proposal awal. Proposal tersebut dikirimkan melalui pos; isinya hampir mirip dengan apa yang disusun pada bulan Juni.

Dua minggu kemudian, pada tanggal 31 Agustus, Kementerian Luar Negeri memberikan respon. Meskipun bernada positif, respon Kementerian Luar Negeri tersebut menyatakan bahwa berkaitan dengan sensitivitas publik dan politik, proposal tersebut ‘harus lebih menekankan’ perspektif Belanda dan peluang kerja sama dengan para peneliti dari Indonesia. Butir kedua itulah yang betul-betul baru. Ketiga lembaga tersebut lalu bekerja keras di bulan-bulan berikutnya untuk mengejewantahkan hal tersebut. Pada akhirnya, butir tersebut mewujud dalam bentuk kerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM), selain dalam penjabaran bagian tentang periode Bersiap.

Penambahan-penambahan terpenting pada dokumen 2 September 2016

  • Dalam penelitian ini, fokus utama dipusatkan pada periode kekacauan antara pertengahan Agustus 1945 dan awal tahun 1946, yakni periode sebelum penyerbuan besar-besaran yang dilakukan militer Belanda. Pada periode yang dikenal dengan periode Bersiap ini, ribuan orang-orang Eropa, Cina, dan Indonesia yang dituduh ‘berkolaborasi’ dengan pemerintah kolonial Belanda menjadi korban kekerasan, kebrutalan yang dilakukan oleh para lascar perang Indonesia.
  • Bila memungkinkan, para peneliti akan bekerja sama dengan sejarawan dari negara-negara yang terlibat, utamanya dengan para sejarawan dari Indonesia, khususnya dari kampus ternama Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Di Indonesia, minat untuk menggali peristiwa-peristiwa sejarah semasa perang dekolonisasi, termasuk periode Bersiap, sedang tinggi-tingginya.

4. Perkembangan pasca publikasi buku Brandende Kampongs

Pada tanggal 29 September 2016, sebuah konferensi pers diselenggarakan di Nieuwspoort. Pada konferensi pers tersebut, disajikan terjemahan revisi disertasi doktoral Remy Limpach, yang sebagaimana telah diperkirakan segera memicu banyak reaksi. Pada hari yang sama, Kementerian Luar Negeri menyatakan ‘telah menerima respon dari pemerintah berkenaan dengan disertasi yang membahas tindakan militer Belanda di Indonesia tersebut’ dan akan segera mengadakan rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pertahanan. Pada 16 November, setelah melalui pembahasan tentang hak asasi manusia internasional di Kementerian Luar Negeri, Koenders menyatakan bahwa berkenaan dengan penelitian lanjutan tentang periode 1945-1950 “kami sekarang sedang bermusyarawah dengan sejumlah organisasi tentang apakah penelitian ini akan lekas dilakukan. Dan jika demikian, bagaimana penelitian tersebut dilakukan. Lebih jauh lagi, saya juga telah membahas tentang ini bersama-sama dengan pemerintah.”

Sementara, sampai pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017, NIOD, NIMH, dan KITLV terus mengerjakan dan memperbaharui proposal program penelitian. Satu bagian penting penelitian turut ditambahkan atas permintahan Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan dan Olah raga (VWS)—bagian tersebut bertalian dengan pemberian dukungan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak oleh peristiwa sejarah tersebut. Permintaan tersebut menghubungkan program penelitian tersebut dengan sebuah proyek sejarah lisan terpisah, yang dinamai dengan proyek penelitian Saksi dan Rekan Sezaman.

Kemudian, satu bagian lain ikut ditambahkan dalam proposal tersebut, yakni Studi Regional, sebuah proyek penelitian yang bertujuan untuk menelurkan inovasi akademik dan membuka kesempatan baik bagi terciptanya kerja sama antara para peneliti Belanda dengan para peneliti dari Indonesia.

Pada akhirnya, program penelitian tersebut harus menempuh proses pembaharuan besar-besaran. Dan agar tersusun penganggaran yang sehat dan mewujudkan pengelolaan penelitian yang berjalan dengan baik, proposal yang tadinya hanya berisikan butir-butir terpisah diubah menjadi program penelitian yang menyeluruh dengan memasukkan beragam subprogram penelitian yang dirancang sesuai dengan standar program penelitian NWO dan Europa.

5. Kesimpulan

Uraian ringkas tentang sejarah kemunculan program penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa garis besar dan bagian-bagian penting program penelitian yang dikerjakan oleh tiga lembaga penelitian Belanda ini sejatinya telah dikembangkan sejak tahun 2012. Pada saat yang sama, jelas pula bahwa beberapa bagian dalam penelitian ini ditambahkan setelah mendapat masukan dari pemerintah melalui beberapa kementerian dan beberapa politisi. Meskipun demikian, ketiga lembaga penelitian tersebut tidak pernah menganggap dan mendapat kesan bahwa masukan-masukan tersebut akan menggoyah independensi penelitian. Justru malah sebaliknya, kerja sama dengan para sejarawan Indonesia dipandang sebagai jendela yang membuka peluang baru; kemudian, program penelitian ‘Saksi dan Rekan Sezaman’, yang bermula sebagai proyek penelitian terpisah, malah menandakan bahwa program penelitian ini merupakan program penelitian yang sejatinya telah dilakukan masing-masing lembaga penelitian dari jauh-jauh hari.

Kesemua hal tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa pertarungan politik juga pernah terjadi, khususnya dalam upaya memperoleh dukungan dana tambahan dari pemerintah untuk penyelenggaraan riset yang independen. Salah satu contohnya adalah visi anggota parlemen Angelien Eijsink dari partai PvDA, yang menunjukkan dukungan personal dan lalu memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan politis:

Setelah berkonsultasi dengan beberapa lembaga penelitian dan kelompok-kelompok yang berkepentingan,Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk memberikan dukungan politik bagi pelaksanaan penelitian menyeluruh di tahun 2016 (sebagai respon atas kajian yang telah dilakukan oleh Limpach). Saat mempersiapkan surat yang akan dilayangkan ke parlemen, beberapa juru bicara di Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan peluang terciptanya kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah membuka ruang bagi para pelaku sejarah dan yang terdampak serta para kerabatnya sehingga mereka dapat turut memberi masukan nyata. Tujuannya adalah agar dapat dipastikan bahwa kepentingan masing-masing dirangkul dalam desain penelitian tersebut. Para veteran adalah pihak yang paling berkepentingan: mereka ingin menghindarkan situasi yang menafsirkan periode tersebut berdasarkan pandangan kekinian, dan bagi mereka penting agar dimasukkan juga pembahasan tentang periode Bersiap. Bagi partai-partai politik yang tergabung di parlemen, periode Bersiap tersebut serta kontribusi para veteran merupakan perkara yang teramat penting untuk dimuat dalam proposal akhir. Isu lain yang sama pentingnya adalah keterlibatan para peneliti Indonesia. Para juru bicara di Dewan Perwakilan Rakyat tersebut mencatat segala masukan dari para akademisi dan anggota masyarakat, dan menyusun surat yang akan dikirimkan ke tiga lembaga yang bertanggung jawab atas penelitian ini. Kesepahaman akhirnya diperoleh, dan kami pun memberikan dukungan secara penuh. Dari perspektif politis, ini merupakan sebuah perkembangan yang positif yang membuka ruang diskusi, dan berdasarkan keterjalinan yang ada, kesatuan dan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan—partai politik, kelompok masyarakat, dan tiga lembaga penelitian—kami akhirnya sampai kepada sebuah keputusan politik.

Kutipan di atas bukan hanya menarik dan penting, akan tetapi betul-betul menjelaskan ihwal dukungan politis atas sesuatu yang semula dipandang secara sosial sebagai topik yang terlalu sensitif untuk diperbincangkan. Pada saat yang bersamaan, ini tidak menafikan kenyataan bahwa program penelitian ini tampil dan mengikuti dinamikanya tersendiri.

 

[1] Misalnya, anggota parlemen Han ten Broeke dari partai VVD pernah berujar bahwa: “Permintaan agar periode Bersiap juga turut dimasukkan ke dalam program penelitian ini muncul ketika saya mulai terlibat dalam pembahasan tentang masalah ini. Ini terjadi selepas saya berdiskusi panjang dengan banyak pihak seperti partai politik, para veteran dan kerabatnya, serta para pemangku kepentingan politik. Saya kemudian mengusulkan kepada VVD bahwa sebagai imbal balik dari dukungan yang kami berikan, periode Bersiap dimasukkan dan dibahas dalam program penelitian tersebut. Partai VVD menyatakan persetujuannya dan saya manut. Meskipun tidak diformulasikan sebagai sebuah permintaan, hal ini menjadi syarat penting apabila ingin memperoleh dukungan dari VVD untuk program penelitian tersebut.”

[2] Lihat, misalnya, Anne-Lot Hoek in https://www.nrc.nl/nieuws/2015/10/07/advocaat-eist-inzage-in-proefschrift-geweld-indie-1545036-a1145439