Dalam beberapa minggu terakhir, Remco Raben berkeliling mengitari Jawa Timur dalam upayanya mencari suara-suara lokal mengenai zaman Revolusi Indonesia. Dia berbagi pengalamannya tersebut pada blog ini.
Revolusi Indonesia Hiperlokal
Kisah dan Kesan dari Bojonegoro dan Mojokerto
Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya berkeling ke pelbagai wilayah di Jawa Timur dalam upaya saya mencari suara-suara lokal ihwal periode Revolusi Indonesia. Melalui tulisan ini, izinkan saya berbagi pengalaman mengenai perjalanan tersebut. Perjalanan itu bukan hanya telah membuahkan banyak hasil dan berhasil memandu saya menemukan cara pandang baru, akan tetapi juga telah membuka tabir ihwal kerumitan dan beragam kemungkinan dalam menulis sejarah dari sudut pandang Indonesia atas sebuah sejarah yang bisa saja ditulis dengan mudah dengan menggunakan bahan-bahan arsip Belanda yang berlimpah. Sebelumnya, saya meminta maaf apabila paparan ini terlampau panjang.
Saat ini saya sedang mempersiapkan tulisan tentang konteks administratif dan politis atas kekerasan yang terjadi sepanjang masa Revolusi Indonesia. Dan yang paling mendesak yang kini saya hadapi adalah pertanyaan penting tentang bagaimana cara mengedepankan pengalaman lokal, menghadirkan suara-suara dari Indonesia, dan memberikan perhatian seutuhnya kepada para korban. Pendekatan tradisional a la Belanda, yakni dengan memilah dan memeriksa arsip di Belanda, menawarkan kemudahan dalam penelitian, khususnya berkaitan dengan pemerolehan bahan penelitian yang berhubungan dengan pemerintah Belanda atau berkas militer. Akan tetapi, paparan yang disajikan dalam arsip-arsip Belanda tersebut kerap mengarah pada penulisan sejarah yang tidak berimbang.
Ironisnya, banyak kolega Indonesia, ketika ditanya tentang keberadaan arsip lokal Indonesia, kerap menyarankan untuk mencari di arsip-arsip Belanda. Saat ditanyakan ihwal koran-koran lama, mereka juga merujuk kepada repositori digital koran-koran berbahasa Belanda. Tentu saja banyak informasi berguna yang bisa ditemukan di koran-koran Belanda tersebut; namun, informasi-informasi tersebut sejatinya ditulis guna kepentingan Belanda dan teramat jarang mengedepankan dan mengulas cerita-cerita yang dari datang dari individu, pemerintah, atau arsip-arsip Indonesia. Alur yang disajikan koran-koran tersebut tidak pernah ajeg dan terputus-putus. Oleh sebab itu, teramat penting kiranya untuk mengerahkan segenap upaya agar suara-suara Indonesia bisa turut dihadirkan. Banyak sekali yang bisa ditawarkan oleh sejarah lisan—lihat saja contohnya buku Anton Lukas yang berjudul One soul one struggle (1989)—sayangnya, peluang sejarah lisan sering pupus saat para pelaku sejarah beranjak hilang dilahap waktu.
Sejarah perihal pemerintah lokal dan para pejabatnya dibuat buram dan bahkan tak pernah didokumentasikan. Ada sebagian laporan Belanda tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di tingkat yang sangat lokal, dan terkadang disimpan juga beberapa surat yang dikirim oleh beberapa pejabat pemerintah Indonesia. Ada juga beberapa berkas-berkas berbahasa Indonesia yang disita oleh serdadu Belanda kala itu, dan kini disimpan dalam koleksi Dinas Intelijen Pasukan Belanda (NEFIS) di Den Haag. Arsip Nasional di Jakarta juga menyimpan berkas dari beberapa kantor menteri Republik di Yogyakarta. Namun, berkas-berkas yang melaporkan tentang lokalitas khusus dan dinamika lokal tetap samar dan bahkan sulit diperoleh.
Alih-alih memeriksa lebih banyak arsip, saya memutuskan menggali lebih dalam sejarah-sejarah lokal. Tujuan dari perjalanan ini adalah untuk meneroka peluang-peluang dalam menggerakkan sumber-sumber rujukan lokal guna penulisan sejarah pemerintahan Indonesia pada tingkat hiperlokal. Informasinya bisa diperoleh dari mana saja: bisa dari arsip-arsip desa, laporan saksi mata, tradisi lisan setempat, sejarah lokal, dan sejarah umum.
Perjalanan ini bak sebuah pengintaian, untuk menyelidiki beragam kemungkinan untuk penelitian yang sesungguhnya. Dari sekian banyak tempat, dua wilayah di Jawa Timur ditetapkan sebagai tempat penelitian. Dua wilayah tersebut dulu direbut Belanda saat revolusi berlangsung; dan oleh sebab itu kedua tempat tersebut lekat dengan sejarah kekerasan yang dilakukan oleh serdadu Belanda. Dua daerah tersebut adalah Bojonogero, 70 km arah barat dari Surabaya, tempat Belanda melancarkan agresi militer kedua di Desember 1948; dan Mojokerto, sebelah tenggara Surabaya, yang sejak Maret 1947 telah diduduki kembali oleh Belanda dan dijadikan sebagai sebuah proeftuin, sebuah eksperimen pemerintahan gabungan Belanda-Republik, yang berujung dengan kegagalan. Tapi, bukan itu yang sedang saya sasar. Saya lebih tertarik kepada dinamika administrasi lokal dan kekerasan yang terjadi, khususnya sikap pejabat pemerintah Indonesia terhadap pendudukan Belanda. Bagaimanakah desa dan kota dikelola? Bagaimana pendudukan Belanda berdampak terhadap hubungan penduduk setempat? Apa daya tawar yang dimiliki pejabat lokal dalam meredam kekerasan yang dilakukan serdadu Belanda?
Banyak sekali pertanyaan.
Pengetahuan apa yang bisa dibuahkan dari eksplorasi macam ini? Cara ini tentu takkan pernah bisa mengembalikan arsip-arsip lokal yang dulu pernah ada, pernah dipindahkan, hilang, atau apapun yang terjadi padanya. Mencoba menemukan kembali arsip-arsip itu mungkin juga sia-sia. Akan tetapi, sepertinya hal ini perlu dilakukan agar dapat dipastikan bahwa arsip-arsip tersebut telah benar-benar hilang. Masih menjadi misteri yang tak mudah dikuak ihwal bagaimana semua arsip desa dan kabupaten itu bisa hilang begitu saja, di semua tempat yang saya kunjungi. Rasa penasaran lalu hinggap: Apa yang terjadi pada arsip-arsip tersebut? Disita militerkah? Atau terbakar dan lapuk karena tak dirawat? Pemusnahan menyeluruh dalam skala nasional sepertinya juga mustahil. Lalu apa? Apapun itu yang terjadi, tak satu berkaspun bisa saya temukan. Jelas sudah, penjelajahan saya tidak membuahkan hasil.
Untungnya, banyak penelitian sejarah yang telah diupayakan oleh sejarawan-sejarawan dan jurnalis setempat. Menggunakan sejarah lisan, laporan militer, dan surat kabar, mereka menyajikan informasi penting ihwal bagaimana daerah, kota, dan desa dikelola; bagaimana kepala-kepala desa bereaksi terhadap upaya Belanda untuk memulihkan tatanan kolonial; bagaimana isu tentang kepatuhan dan kesetiaan memecah belah masyarakat; bagaimana kekerasan-kekerasan serdadu Belanda dan Republik menghantam desa; atau bagaimana petani berontak terhadap tekanan-tekanan dari kelompok pejuang.
Penting untuk berbicara dengan orang-orang agar kita bisa memperoleh informasi. Masih banyak para sepuh berusia 80an hingga 90an yang masih bisa berbagi cerita tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa desa-desanya di akhir dasawarsa 1940. Saya berjumpa dengan banyak orang yang bisa bercerita secara terperinci tentang peristiwa-peristiwa terdahulu. Di samping itu, ada banyak tradisi lokal tentang zaman itu, terkadang dengan detail-detail yang sangat mencengangkan, terutama tentang periode penuh kekacauan saat serangan-serangan dan patroli Belanda digalakan, serta dampak yang menyertainya. Informasi-informasi yang memuat nama-nama korban, lokasi-lokasi tempat terjadinya kekerasan, kisah-kisah penderitaan dan bertahan hidup, semuanya bisa ditemukan dalam endapan-endapan mnemonik masyarakat setempat.
Suatu kali saya pernah membaca dokumen yang disimpan di Arsip Belanda tentang kekerasan militer di pedesaan di barat daya Mojokerto, tak jauh dari garis demarkasi antara dua wilayah yang diduduki Belanda di satu sisi, dan oleh tentara Republik di sisi lainnya. Pada arsip terssebut, ada sebuah surat yang ditulis oleh asisten wedana Trowulan yang mengadukan kepada otoritas kolonial Belanda tentang serdadu Belanda yang kerap membunuhi warga sipil. Pada bulan Juni 1949, patroli Belanda menemukan sebuah bom di dekat rel kereta api dekat tak jauh dari Bojonegoro. Bom tersebut gagal meledak. Lalu, oleh serdadu Belanda bom tersebut dibawa ke desa terdekat dan dibiarkan meledak. Selanjutnya, serdadu Belanda tersebut menggeledah desa itu dan membunuh beberapa penghuninya.
Saya kemudian memutuskan untuk memastikan kebenaran peristiwa ini dengan merujuk kepada ingatan lokal tentang peristiwa yang sama. Setelah berhasil menghubungi kepala desa Balongwono dan bertanya ke beberapa orang, saya bersama rekan peneliti Ayuhanafiq dipertemukan dengan Pak Sukardji yang tak hanya membenarkan perisitiwa itu, tapi juga bercerita lebih jauh tentang aksi balas dendam serdadu Belanda dari sudut pandang para warga desa. Bom tersebut sesungguhnya dibawa ke tengah desa oleh serdadu Belanda and secara sengaja diledakkan oleh mereka tepat di samping rumah orang kaya desa itu. Rumah itu dicurigai serdadu Belanda setelah mereka menerima laporan dari mata-mata mereka. Lalu, setidaknya tiga orang petani di desa itu tewas dibunuh oleh prajurit patroli Belanda, salah seorangnya adalah Pak Giso yang waktu itu sedang menebang pohon bambu. Penduduk desa lainnya, Pak Turah, dipaksa memanjat pohon kelapa lalu kemudian ditembak jatuh. Cerita Pak Sukardji ini menegaskan isi laporan yang dimuat dalam arsip-arsip tersebut. Dan pembunuhan-pembunuhan ini hanya sebagian kecil dari sebuah rangkaian peristiwa. Di dusun-dusun lain, serdadu Belanda membunuh lebih banyak korban. Hingga kini, Belanda masih belum dimintai tanggung jawab; sementara, para penduduk yang tewas itu masih terus dikenang di desa-desa itu.
Ingatan kerap dipahat pada bebatuan dan oleh karenanya abadi. Di sebuah desa, di ujung selatan Bojonegoro, saya menemukan sebuah monumen yang mengabarkan tentang tragedi di tempat kecil itu (lihat gambar). Dahulu, Desa Temayang adalah tempat pertemuan para pasukan TNI dan para pegawai pemerintah yang lari dari daerah dudukan Belanda di Bojonegoro pada Desember 1948. Batalion Ronggolawe di bawah komando Basuki Rahmat yang terkenal itu pernah berlindung di hutan-hutan sekitarnya. Hal ini menarik pasukan patroli Belanda yang sedang mencari pasukan Republik dan penduduk desa yang membantu mereka. Setelah bertanya-tanya ke orang setempat, seorang pegawai desa membawa saya menemui Pak Taslim, yang punya bercerita secara terperinci tentang periode tersebut. Dia ingat betapa seringnya pasukan Belanda datang ke desanya itu, selalu dari arah barat—dari arah jalan dari Bojonegoro. Pada saat kedatangan mereka, pasukan Republik dan penduduk desa bergerak mundur ke dalam hutan-hutan, ladang, dan dusun-dusun lain. Suatu hari di bulan Maret 1949, seorang sersan Republik, Mangun, tertangkap saat hendak meledakkan mortar. Seketika itu juga dia dibunuh serdadu Belanda. Selama tiga hari, serdadu Belanda menetap di desa itu, memburu pejuang-pejuang Indonesia. Hari kedua, tiga penduduk desa yang memberi perlindungan kepada tentara Republik ditangkap dan lalu dieksekusi oleh pasukan Belanda—kini nama mereka ditulis rapi pada monumen tersebut. Kala pasukan Belanda akhirnya pergi, para penduduk desa kembali ke desa tersebut. Temayang juga dijadikan tempat pertemuan bagi gubernur Jawa Timur dan pejabat-pejabat lokal dari Bojonegoro yang telah sebelumnya melarikan diri dari kota dan mencoba membentuk pemerintah bayangan di daerah tersebut.
Sebagian besar kepala desa di wilayah tersebut menolak bekerja sama dengan Belanda dan melarikan diri dengan para penduduknya ketika mendengar desas-desus kedatangan pasukan Belanda. Sementara, sebagian lain memutuskan bekerja sama dengan Belanda karena rasa takut akan Belanda yang semakin dalam. Di satu desa, Sembung, tak jauh dari Bojonegoro, prajurit TNI juga turut berpatroli. Pak Achwan, anak dari kepala desa kala itu, Ali Afandi, menyampaikan cerita yang pernah disampaikan ayahnya kepadanya. Terpicu oleh aktivitas TNI, pasukan Belanda secara teratur turun ke desa. Paling tidak setidaknya pernah satu kali terjadi, pesawat tempur Belanda mengebom desa yang diduga dijadikan tempat persembunyian tentara Republik. Menurut orang-orang setempat, pesawat-pesawat tempur tersebut diarahkan oleh mata-mata Belanda dengan menggunakan pantulan cermin untuk menunjukkan lokasi pasukan Indonesia. Pengeboman tersebut menimbulkan banyak korban, meskipun tak ada yang tewas. Selain itu, lumbung-lumbung padi juga turut dibakar habis. Kejadian-kejadian ini dan patroli yang terus berulang menanamkan rasa takut yang besar di antara para petani yang kerap melarikan diri dari desa setiap kali pasukan Belanda mendekat. Seorang mantan kepala desa bercerita tentang pengalaman-pengalaman traumatik yang dialami para warga desa.
Cerita-cerita yang disampaikan kerap menyebut mata-mata lokal. Belanda berhasil memobilisasi para warga untuk memberikan informasi. Konon ada imbalan yang disediakan oleh Belanda. Para penduduk desa saat ini paham bahwa oportunisme dan dan keuntungan materi adalah motif utama warga desa yang kala itu memutuskan untuk menjadi mata-mata Belanda. Tidak jarang para mata-mata tersebut akhirnya menjadi bulan-bulanan dan sasaran balas dendam gerilyawan dan prajurit TNI. Di Temayang, dua orang informan, Pak Parto dan Pak Sadiman, dibunuh TNI sebagai balasan atas bantuan mereka kepada Belanda.
Semua ini betul-betul membuka mata. Mungkin nilai terbesar yang bisa ditawarkan oleh penelitian lapangan semacam ini bukanlah pada proses rekonstruksi peristiwa sejarah, melainkan pada ihwal yang tak terduga dan yang sangat penting untuk dijalani langsung dalam lanskap sejarah. Pengalaman akan tempat, ruang, jarak, tata letak desa, lokasi rel kereta api, pos tentara, semua memberikan semacam kesan inderawi yang sangat penting bagi proses pembayangan sejarah. Terlebih lagi, ditemukannya kuburan-kuburan di pedesaan dan monumen-monumen menunjukkan betapa sejarah sesungggunya dapat bertahan. Di atas itu semua, kesempatan untuk berbincang dengan orang-orang desa dari beragam generasi dan lapisan masyarakat membuahkan kesadaran tentang bagaimana sejarah berdampak pada individu dan kelompok masyarakat. Persepsi ini takkan pernah bisa didapat dari lembaran-lembaran kertas yang disimpan dalam koleksi arsip kolonial.
Hingga kini, sejarah tentang revolusi dan upaya Belanda untuk menduduk kembali Indonesia masih sangat hidup. Orang-orang muda tahu cerita tentang periode ini dari para sesepuh desa. Peristiwa-peristiwa yang mungkin terbilang kecil dalam keriuhan besar revolusi dan perang sejatinya merupakan kisah-kisah besar di tempat-tempat ini. Kisah-kisah itu secara tak terduga masih mempertahankan kedekatan perasaan dan ingatan kolektif. Bom-bom yang diledakkan Belanda, patroli, kekerasan yang berulang, rasa takut, perpecahan, ini semua merupakan bahan paling mendasar sejarah lokal—sebagian besar diturunkan dari mulut ke mulut, sebagian lainnya diabadikan dalam monumen-monumen sederhana.
Satu hal terakhir: setiap orang di desa-desa itu memandang serangan-serangan Belanda sebagai pelanggaran atas kemerdekaan Indonesia. Pasukan Belanda dipandang sebagai penjajah asing yang mengancam tatanan dan kehidupan desa. Di daerah-daerah di sekitar Bojonegoro dan Mojokerto, sebagaimana halnya di daerah-daerah lain Jawa dan Sumatra, Republik Indonesia telah dimulai sejak 1945, dan bahwa serangan yang dilancarkan Belanda di tahun 1947 dan 1948 merupakan serangan keji terhadap negara berdaulat. Pendudukan Belanda, khususnya setelah agresi militer yang kedua, telah menciptakan kekacauan besar dan rasa takut di negeri itu. Ini bukan tentang lilitan kekerasan seperti yang pernah dikemukakan sebagian orang, tetapi situasi ini dengan sengaja diciptakan oleh strategi militer Belanda yang gagal.
Dengan rasa terima kasih yang mendalam kepada Ayuhanafiq, Sita Nur Aulia, Lukiyati Ningsih, Pinilih Nugrahani, Purnawan Basundoro, Sarkawi Husain, para kepala desa, para narasumber, dan terutama atas kebaikan dan keramahan para warga desa yang telah bersedia diwawancarai dan berbagi kisah.