Pada Sabtu, 2 November 2019, pertemuan terbuka ketiga yang membahas perkembangan program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950 berlangsung di gedung Arsip Nasional Belanda. Jurnalis paruh waktu, Tessa Hofland, menulis laporan tentang seminar terbuka.
Oleh Tessa Hofman
Catatan-catatan dari para peneliti masih sedang dipersiapkan dan oleh sebab itu belum dapat diunggah. Dalam pertemuan terbuka yang membahas perkembangan penelitian Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950, para peneliti memberikan paparan tentang metode, sumber-sumber, dan kesimpulan sementara. Selain itu, berbagai lokakarya yang turut diselenggarakan sebagai bagian dalam rangkaian acara seminar tersebut mengkaji lebih jauh ihwal tantangan-tantangan yang muncul dari sumber-sumber sejarah yang kerap sumir dan saling bertentangan. Dalam laporan ini, kami ingin menyampaikan ulasan atas penyelenggaraan seminar terbuka tersebut. Uraian kegiatan secara lengkap, termasuk ulasan atas tiap-tiap sesi, dapat dibaca di tautan berikut.
Sebagaimana telah ditegaskan oleh Frank van Vree, direktur NIOD-Lembaga Belanda untuk Kajian Perang, Holocaust, dan Genosida, seminar terbuka tersebut adalah yang ketiga kali diselenggarakan guna mengabarkan kepada publik tentang program penelitian yang dimaksud. Namun, berbeda dari dua pertemuan sebelumnya, kegiatan kali ini menawarkan para peserta untuk tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar. “Anda dapat menengok apa yang dilakukan oleh para peneliti kami dan membahas bersama-sama mereka beragam sumber yang mereka rujuk. Kami akan tunjukkan kepada Anda bagaimana riset ini dilakukan.” Oleh sebab itulah, seminar terbuka ini diselenggarakan di gedung Arsip Nasional di kota Den Haag. “Gedung Arsip Nasional sudah dianggap seperti rumah bagi banyak peneliti.”
Program penelitian ini bertujuan untuk memberi jawaban akademis atas pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan sifat, cakupan, penyebab, dan dampak dari kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh militer Belanda di Indonesia selama periode 1945-1950. Beberapa subprogram dari delapan subprogram yang menginduk kepada program penelitian besar ini melibatkan beragam kerja sama dengan para peneliti dari Indonesia—sebuah kerja sama yang menurut Martijn Eickhoff dapat menawarkan sudut pandang dari luar yang teramat berharga. Pada subprogram Studi Regional yang digawangi Eickhoff, misalnya, pertukaran sumber-sumber penelitian yang dilakukan sejarawan dari Indonesia dan belanda memainkan peran sentral. “Ketika sumber-sumber penelitian dipertukarkan, sudut pandang kedua belah pihak pun dapat berubah.”
Rekan peneliti Eickhoff, Muhammad Yuanda Zara dari Universitas Negeri Yogyakarta, berbagi pendapat serupa. Dia mengambarkan proyek penelitiannya yang berkenaan dengan berita-berita yang dimuat dalam koran-koran Indonesia. “Ada ungkapan bahwa dalam sumber arsip, Anda dipertemukan dengan gagasan-gagasan para petinggi dan pejabat pemerintah; sementara pada koran-koran, Anda bergaul dengan gagasan-gagasan orang-orang kebanyakan.” Dalam paparannya, Zara menyampaikan tentang bagaimana para pemimpin Republik digambarkan, bagaimana demokrasi diterangkan, dan bagaimana pengorbanan nyawa saat melawan Belanda dimuliakan sebagai sebuah aksi heroisme. “Kekejian yang dilakukan oleh musuh dibuktikan secara nyata dengan gambar seorang anak terluka di sebuah rumah sakit yang sedang dikunjungi Sukarno.”
Di ruang baca gedung Arsip Nasional, para peserta dilibatkan dalam berbagai lokakarya. Mereka mencoba mereka ulang penelitian dan dihadapkan dengan pelbagai dokumen-dokumen arsip yang harus mereka tafsirkan. Azarja Harmannya memberi penjelasan tentang apa yang dapat dipelajari dari sebuah laporan militer, dan tentang bagaimana cara memilah sumber-sumber tambahan yang dapat mendukung terciptanya gambaran yang lebih utuh tentang kekerasaan saat perang di Indonesia berlangsung. Di ruang sebelah, Tom van den Berge dan Emma Keizer membahas tentang permainan politik internasional yang tersamarkan pada kurun tahun 1945-1950. Meskipun Amerika Serikat menyatakan dukungannya secara terbuka bagi kemerdekaan Republik Indonesia, Amerika dengan sengaja memalingkan muka saat para pelaku swasta menyuplai senjata untuk militer Belanda. “Sekira enam puluh ribu pucuk revolver diperbantukan bagi Belanda dalam Agresi Militer II, yang oleh mereka dikenal dengan sebutan Operatie Kraai, juga dikenal sebagai Operasi Gagak,” ujar Keizer. “Amerika bermuka dua.”
Tema-tema yang berkenaan dengan periode 1945-1950 di Indonesia sangat beragam: mulai dari tema yang berkaitan dengan isu politik, militer, hukum, hingga dampak sosial yang menimpa berbagai kelompok masyarakat. Para peneliti pada program ini oleh karenanya diharuskan untuk merujuk ke berbagai sumber. Bagi subprogram penelitian Saksi & Rekan Sezaman, sumber-sumber sejarah seperti ingatan-ingatan personal, baik yang disampaikan secara langsung atau direkam di kemudian hari adalah hal pokok. Dalam sesi presentasi mereka, Eveline Buchheim, Ody Dwicahyo, Fridus Steijlen, dan Stephani Welvaart membahas tentang dampak berbagi kisah pribadi. Fakta dan cerita-cerita perseorangan sesungguhnya saling berkelindan, dan oleh sebab itu keduanya menjadi bagian dari ranah publik. Bagi sebagian hadirin yang telah turut membagikan kisah pribadinya, hal ini tidak menjadi soal.
Gerda Jansen Hendriks (dari program televisi Andere Tijden) memandu sebuah sesi presentasi yang memutar cuplikan-cuplikan pendek film Indonesia dan Belanda. Di samping itu, pada sesi-sesi lainnya, para peneliti seperti Norman Joshua, Ron Habiboe, Maarten van de Bent dan Anne van der Veer, dan Tico Onderwater dan Esther Zwinkels, membahas secara rinci hal ihwal pergerakan revolusioner, jumlah korban, pemberitaan di media dan laporan-laporan badan intelijen.
Sejarawan seni Aminudin Siregar dan Harm Stevens, curator dari Rijksmuseum, berbagi gagasan tentang arsip-arsip dari Badan Intelijen Hindia Belanda (NEFIS) dan Dinas Intelijen Militer Pusat (CMI). Mereka berpandangan bahwa kedua sumber tersebut bak tambang emas. Namun, pada saat bersamaan juga sarat dengan persoalan. Foto, dokumen, poster dan sumber-sumber lainnya yang merupakan sitaan serdadu Belanda tersebut menawarkan banyak cerita unik. Dan dilema hadir kala sumber-sumber tertentu hanya menghadirkan sudut pandang Belanda atau poster-poster dan artikel-artikel yang memainkan peran propaganda. “Beberapa poster kami curigai sebagai sebentuk kontrapopaganda dari pihak Belanda,”ujar Siregar sambil memegang sebuah contoh poster. “Kita takkan pernah tahu secara pasti.”
Kesimpulan program penelitian Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950 akan tampak jelas pada September 2021, saat temuan-temuan penting penelitian diumumkan ke khalayak, persis saat program penelitian ini menginjak empat tahun.