Multiperspektif dan Multivocal
Beberapa prinsip dasar program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-50
Jika, sebagai seorang sejarawan, Anda ingin memahami peristiwa di masa lampau, Anda harus mencoba melepaskan diri dari zaman dan masyarakat di mana Anda hidup, dan membenamkan diri, dengan segala keterbatasan yang mungkin ada, dalam motif dan perspektif yang dimiliki oleh para pelaku sejarah. Bagaimana cara mereka memandang dunia, apa yang mereka anggap penting, dan mengapa mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan? Khususnya berkaitan dengan sejarah kekerasan massal dan kolonialisme, membenamkan diri dalam perspektif dari para pelaku sejarah yang berbeda-beda amat diperlukan guna memahami jalannya sebuah peristiwa sejarah. Dengan kata lain, pendekatan multiperspektif adalah sarana yang sangat diperlukan dan teramat penting bagi seorang sejarawan.
Selain daripada itu, mempertimbangkan beragam motif dan emosi para pelaku sejarah, serta mencari berbagai macam suara dari masa lampau betapapun sulit hal itu untuk dilakukan, lalu meminta mereka berbicara dengan jelas dan lantang dapat membuahkan gambaran yang lebih lengkap akan masa lampau.
Isu-isu mendasar tersebut di atas tengah menjadi sumber perdebatan sengit di antara para peneliti yang tergabung dalam program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950, baik di Belanda maupun di Indonesia. Komite Penasihat Ilmiah dan Kelompok Pemerhati Sosial di Belanda pun turut terlibat, sehingga dapat menghasilkan sejumlah diskusi yang lebih hidup dan teramat bermanfaat.
Diskusi-diskusi tersebut tidak hanya membahas perlunya pendekatan multiperspektif dan multivokal, melainkan juga menekankan pentingnya istilah-istilah dan konsep-konsep yang terhubung dengan ragam perspektif. Sebuah gejala yang sama dapat dijelaskan dalam istilah yang berbeda; sementara, istilah yang sama bisa jadi merujuk kepada makna yang berbeda. Dalam sudut pandang Indonesia, misalnya, apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1947 dan 1948 disebut sebagai aksi memerangi, sebuah agresi terhadap sebuah Republik yang baru saja berdaulat. Sementara, oleh pemerintah Belanda, aksi tersebut diperhalus dengan sebutan ‘aksi polisi’. Banyak lagi istilah-istilah lain, yang beberapa di antaranya bersifat netral, faktual, atau ilmiah, sementara sebagian lainnya sarat dengan emosi dan konotasi bergantung kepada kelompok yang saling bertentangan mana istilah tersebut dilekatkan.
Seiring dengan upaya kami untuk memberi ruang kepada perspektif yang berbeda dan mungkin saling bertentangan, kami juga dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian mencoba menggunakan istilah historis yang paling tepat, atau juga istilah-istilah ilmiah yang terkadang tampak netral, akan tetapi justru tidak. Ini berarti bahwa dalam seluruh naskah yang kami tulis kami akan menandai pada konteks apa satu istilah atau konsep dipakai, dan melalui perspektif yang mana istilah dan konsep tersebut dimaknai. Kami juga akan menandai bagaimana makna-makna historis berkaitan erat dengan, misalnya, makna-makna hukum, ilmiah, dan kontemporer.
Dari diskusi-diskusi yang telah berlangsung, disusunlah sebuah memorandum yang dijuduli Terms, Voices, and Perspectives (Istilah, Suara, dan Sudut Pandang). Prinsip-prinsip yang dijabarkan dalam dokumen tersebut tidak hanya mendasari program penelitian ini, tetapi juga akan dipergunakan dalam serangkaian publikasi hasil akhir program penelitian ini.
Frank van Vree