Pada hari Minggu, 25 November 2018, Indisch Herinneringscentrum mengadakan pertemuan Indië Tabee? (Selamat Tinggal Hindia-Belanda). Pertemuan tersebut merupakan penutup dari rangkaian diskusi Gepeperd Verleden (Yang Silam Yang Pedas), yang menggarisbawahi pentingnya pembahasan warisan kolonial dari berbagai sudut pandang. Remco Raben, yang juga merupakan bagian dari sub-proyek Konteks Politik Administratif Belanda dan Hindia Belanda, dan Stephanie Welvaart dari sub-proyek Saksi dan Rekan Sezaman, hadir dalam pertemuan tersebut dan bersama-sama menulis laporan tentang pertemuan itu.
Masa Laluku Paling Penting
Perbincangan tentang masa kelam kolonial masih bergaung. Meskipun kritik atas kolonialisme bukanlah hal yang baru, nyinyiran terhadap ketidaksetaraan yang mendasar, kekerasan, dan rasisme kolonial tampaknya semakin hari semakin kentara. Semakin banyak pertanyaan yang diajukan tentang apakah Belanda sesungguhnya telah membebaskan diri dari cara pandang kolonialnya terhadap dunia. Di Belanda sampai saat ini, masih banyak saksi hidup yang pernah menghabiskan sebagian daripada waktunya di tahun-tahun saat kolonialisme masih hidup. Hal ini kemudian menggugah kepenasaran tentang bagaimana ingatan masing-masing dari mereka mampu bertalian dengan pergeseran pandangan dan perdebatan tentang masa lalu kolonial. Dapatkah pengalaman manis mereka ketika muda di Hindia Belanda berjalan beriringan dengan segala macam kritik atas kolonialisme? Permasalahan ini semua menjadi sorotan dalam pertemuan kelima dari serangkaian diskusi yang diselenggarakan oleh Indisch Herinneringscentrum dengan judul Gepeperd verleden (Yang Silam, Yang Pedas).
Ingatan perseorangan tidak berdiri sendiri dan terpisah. Ia terjalin dalam sebuah tenunan peristiwa atau terjerat dengan bentuk-bentuk kesadaran historis lainnya, seperti historiografi dan penghakiman moral atas kolonialisme. Kesemua hal itu kemudian paut-memaut dan pada akhirnya membawa kepada timbulnya beragam pergesekan, kerumitan, dan pertentangan.
Keterpautan di atas juga muncul ke permukaan pada sesi terakhir pertemuan Gepeperd verleden. Hadir pada sore itu adalah Kester Freriks, penulis buku Tempo Doeloe. Melalui bukunya dia mencoba mencari pembenaran atas pengalaman masa lalu kolonial. Banyak orang Belanda masih menautkan dirinya pada pengalaman manis semasa masih muda di Hindia Belanda. Meskipun ia mengakui bahwa masa lalu kolonial memiliki sisi gelap, ia meyakini bahwa kritik anti-kolonial yang belakangan semakin memuncak sama sekali tidak berimbang. Ia berpendapat bahwa pada akhirnya kolonialisme tidak melulu buruk seperti yang selama ini dipikirkan.
Penalaran semacam ini sangat bermasalah karena ia mencampurbaurkan ingatan perseorangan dengan karakter keseluruhan rezim kolonial. Agar diperoleh pemahaman yang baik atas permasalahan ini, pemaknaan terhadap masa lalu kolonial harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Ini berarti bahwa satu pengalaman atau ingatan seseorang akan masa lalu harus dipersandingkan dengan pengalaman dan ingatan orang yang lainnya, juga dengan cerita-cerita sejarah yang lebih umum, dan dengan nilai moral yang bergeser dari masa ke masa. Ingatan manis akan masa lalu kolonial sangat mungkin berkaitan erat dengan kedudukan tinggi yang dimiliki seseorang dalam struktur masyarakat kolonial.
Memori, historiografi, dan moralitas saling bersinggungan. Di ketiga ranah inilah informasi yang sangat kaya, meski mungkin tidak enak didengar, bisa banyak diperoleh. Ingatan-ingatan akan Tempo Doeloe, yang hingga kini masih terus hidup di Belanda, bisa dijadikan sebagai pangkal dilakukannya penelitian lanjutan oleh sebab dalam ingatan semacam inilah segala sesuatunya menjadi lebih jelas: tentang bagaimana sistem kolonial bekerja dan terus melekat dalam ingatan. Bagaimanakah orang-orang menengok ke belakang ke masa-masa kolonial? Apa saja yang terungkap? Dan apa saja yang sengaja disembunyikan? Siapakah yang memainkan peranan dalam ingatan dan siapa sajakah yang menyokongnya?
Sudut pandang yang dimiliki seseorang dalam mengingat sebuah peristiwa selalu dianggap yang paling penting. Namun, segala hal yang berkaitan dengan ingatan tersebut yang berbau kolonial, seperti keistimewaan yang pernah dimiliki dan hubungan tidak setara yang terjadi di masyarakat, yang teramat sangat menentukan dan mewarnai ingatan dan pengalaman masing-masing orang, hampir tidak pernah dipertanyakan. Oleh sebab itu, memberikan ruang terhadap berbagai sudut pandang dan menyandingkannya pada kedudukan yang sama adalah langkah yang sangat penting. Agar sejarah bisa disampaikan secara berimbang, beragam kisah dan sudut pandang yang berseberangan dengan narasi sejarah dominan sangat diperlukan, sekaligus bisa dipakai untuk menunjukkan cacat dalam sejarah Belanda.
Gagasan bahwa kisah-kisah perseorangan bisa membentuk sejarah sejatinya terlalu sederhana. Sebuah kisah sejarah tidak pernah bisa mencukupi bagi pengalaman-pengalaman individu. Kita harus menyadari bahwa kita harus selalu memilih dan memilah kisah untuk didengar, sementara sebagian lainnya tidak pernah tersampaikan atau sama sekali tidak pernah didengar. Sebagian kisah perseorangan dan kolektif tertentu bisa jadi lebih dominan dalam mewakili kisah keseluruhan tentang masa lalu kolonial, sudut pandang tertentu juga lebih kuat dari pada sudut pandang yang lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh Joss Wibisono, seorang penulis dan jurnalis, dalam diskusi tersebut, orang-orang Indonesia hampir selalu memainkan peran figuran dalam kisah-kisah Belanda tentang masa-masa kolonial.
Tanggung jawab yang besar terletak pada para pengumpul kisah dan penceritanya untuk memperhatikan benar-benar kompleksitas memori kolonial, dan bukan hanya memberikan ruang bagi ingatan orang-orang Belanda saja, namun juga harus mewadahi ingatan-ingatan orang-orang yang lainnya dari latar belakang yang beragam—seperti Indonesia, campuran Indo-Belanda, dan Cina. Kisah-kisah perseorangan dengan demikian dapat menawarkan fungsi korektif dan memberikan penerangan, sekaligus menyediakan sebuah jalan keluar dari representasi masa lalu yang terlalu skematis dan dominan.