Koos-jan de Jager terdaftar sebagai seorang kandidat doktor di Universitas Amsterdam sejak 2018. Kajian doktoralnya adalah ihwal peran agama dalam perang kemerdekaan Indonesia. Ia mencoba menyelidiki dampak perang terhadap keyakinan para serdadu Belanda di Indonesia, dan perilakunya selama perang tersebut. Berikut adalah tulisan terbarunya untuk program Saksi & Rekan sezaman.

Serdadu di antara iman dan kekerasan

oleh Koos-jan de Jager

Seorang pendeta yang bekerja untuk Angkatan Darat Belanda di Bandung tahun 1947 bersikukuh: ‘hanya iman kepada Tuhan sang Pemegang kuasa di seluruh dunia yang dapat membebaskan para serdadu Belanda dari tengah-tengah kekacauan yang terjadi dalam perang.’ W. Harder, seorang serdadu wajib militer dari Alkmaar memiliki keyakinan serupa. Dalam suratnya yang dialamatkan untuk petinggi Gereja Reformed di Alkmaar, dia mencatat:

"Untungnya, kami selalu dianugerahi berkat Tuhan ketika keadaan menjadi terlampau sulit. Kami selalu bisa melaluinya. Aku terkadang bertanya-tanya, apa yang sekiranya terjadi kepada mereka yang tak memiliki iman? Iman adalah misteri, dan di dalamnya lah aku menemukan kekuatan.”

Keduanya menunjukkan dengan terang betapa keyakinan berperan penting dalam meredam kekalutan psikologis dan emosi di masa perang. Bagi mereka, iman mereka menyediakan makna dan arah hidup.

Cara serdadu Belanda menangani kekerasan adalah salah satu tema utama pada program penelitian yang kini sedang dilakukan oleh KITLV, NIMH, dan NIOD. Inilah titik tolak pertanyaan penelitian saya: Apakah para serdadu Belanda itu melihat kaitan antara kekerasan, perang, dan iman? Mungkinkah serdadu yang religius lebih mencoba menghindari kekerasan? Sekilas, tampaknya tidak mungkin memberi jawaban yang jelas untuk pertanyaan-pertanyaan itu hanya berdasarkan surat-surat dan buku harian. Adriaan Janse, misalnya, tentara yang juga seorang jemaat Gereja Reformed, menulis ihwal kekerasan tanpa sedikitpun perasaan terbebani. Ia sangat kritis terhadap gereja-gereja Belanda dan juga terhadap perilaku para pendeta tentara di Indonesia. Imannya sama sekali tidak berpengaruh atas kekerasan dan aksi militer yang dilakukannya selama perang. Pada tanggal 23 Mei 1946, dia menulis:

“Malam ini kami habisi beberapa orang. Empat di antaranya adalah orang Jepang. Enam lainnya adalah orang Indonesia. Mereka semua menolak diam ketika diperintahkan, malah mereka melarikan diri. Mereka membawa peta dan senjata. Mungkin mereka adalah mata-mata sang teror dan pemimpin perampok baron Sukarno yang maunya dipanggil ‘Yang Mulia.’”

Sementara, serdadu lainnya melihat adanya tarik-menarik antara kekerasan dan iman. Bagi Dick de Korte, nyanyian-nyanyian syahdu pada malam natal jelas bertolak belakang dengan bunyi desing peluru. Kepada dewan gereja dia menulis:

“Kami terjebak dalam peperangan, aksi militer, korupsi, dan kekecewaan. Namun, kami juga mendengar sayup-sayup lagu King of Peace. Sama sekali tak masuk di akal, bertolak belakang. Damai adalah kata yang akrab dengan kami, tapi kami juga sangat dekat dengan kenyataan. Kemanakah ini semua membawaku? Terkadang aku berpikir, masih adakah Terang? Ya, masih ada Terang. Masih ada Terang sekalipun semuanya gelap. Meskipun gelap tampaknya menang, namun gelap akan hilang karena Juru Selamat dilahirkan. Awal kemenangan adalah ketika Juru Selamat dilahirkan. Inilah yang akan menjaga iman kita.”

Terdapat perbedaan kontras di antara dua surat itu. Adriaan tidak menyebut sama sekali keterkaitan imannya dengan kekerasan selama perang, sementara Dick melihat jelas masalah di antara keduanya. Sumber-sumber ini menyajikan sebuah gagasan tentang cara serdadu Belanda mempertemukan kesalihan mereka dengan peran aktif mereka dalam perang, kekacauan, dan kekerasan. Jika kita ingin memahami pengalaman masa perang mereka, agama harus diselidiki: lagi pula, setiap serdadu Belanda pasti dihadapkan kepada isu fundamental tentang hidup dan mati dimana iman bermain peran yang sangat penting. Dalam penelitian ini, saya tertarik dengan pemaknaan sebuah keyakinan dan bagaimana keyakinan tersebut berdampak terhadap perilaku mereka semasa perang. Bagaimanakah mereka menyikapi kejadian-kejadian dalam peperangan, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan? Kajian sistematis atas surat-surat yang ditulis langsung oleh para serdadu, seperti surat yang ditulis oleh Adriaan Janse dan Dick de Korte, memberikan jawaban berharga untuk pertanyaan tersebut. Mereka memberikan sudut pandang baru yang sangat diperlukan untuk memahami perang di Indonesia.

15-03-2019